Cerita
Rakyat TOLITOLI
( Sulawesi Tengah )
( Sulawesi Tengah )
Pada zaman dahulu kala, jauh sebelum pulau ini
disebut Lutungan, masyarakat Tolitoli mengenal pulau tersebut dengan sebutan Tando Kanau (Tanjung Enau). Karena dulu
semenanjung pulau ini dipenuhi oleh pohon enau. Pohon enau tersebut diyakini
oleh sebagian masyarakat Tolitoli memiliki filosofi karena selain sebagai bahan
untuk membuat gula merah, pohon enau juga dipercaya dapat menangkal petir.
Buahnya bisa menjadi kolang-kaling dan ijuknya dipakai untuk atap rumah serta
masih banyak kegunaan lainnya.
Konon, saking banyaknya
pohon enau yang berada di pulau tersebut, oleh masyarakat Tolitoli dinamai Tando
Kanau, yang secara etimologis disebutkan bahwa Tando berarti
Tanjung dan Kanau artinya enau.
Menurut hikayat, wilayah Tolitoli ini sudah
ada sejak zaman purba atau semenjak Tuhan menciptakan keberadaan dunia ini.
Hanya saja kala itu belum berpenghuni manusia. Manusia yang pertama mendiami
Tolitoli adalah keturunan Tomanurung(keturunan Dewa).
Kata Tolitoli berasal dari kata Totolu (Tau Totolu atu Tiga Orang). Nenek moyang orang
Tolitoli berasal dari tiga manusia kayangan yang menjelma ke bumi ini
masing-masing melalaui Olisan Bulan, Bumbung Lanjat dan Ue Saka. Yang menjelma
melalui Olisan Bulan (bambu emas) dikenal sebagai Tau Dei Baolan atau Tamadika
Baolan, yang menjelma melalui Ue Saka (sejenis rotan) dikenal sebagai Tau Dei
Galang atau Tamadika Dei Galang, sedangkan seorang putri yang menjelma melalui
Bumbung Lanjat (puncak pohon langsat) dikenal sebagai Tau Dei Bumbung Lanjat
atau Boki Bulan.
Suku Tolitoli mendiami
suatu daerah yang membentang dari sebelah selatan Sojool Seoo Lenjuu, Pulau
Taring hingga di sebelah utara Kuala Lakuan, Gunung Raeta dan Gunung Tabadak.
Tamadika Dei Galang menghilang di Gunung Galang di Kecamatan Galang dengan
mengendarai kuda warna merah, Tamadika Baolan menghilang di Desa Dadakitan
dengan menunggang kuda kuning, sedangkan Boki Bulan menghilang di Gunung
Tatanggalo dengan menunggang kuda putih. Ketiga manusia kayangan tersebut menurunkan
suku Tolitoli.
Semua pulau kecil yang berada di depan Kota
Tolitoli merupakan pelindung dan perisai bagi Kota Tolitoli dari gangguan dan
ancaman dari luar. Perisai terdepan sebagai ring ketiga adalah penjaga yang
berada di Pulau Simatang. Masyarakat setempat menyebut penjaga tersebut
sebagai Mihasa dan Seu. Perisai kedua adalah Pulau
Kabetan, yang merupakan penjaga ring kedua. Penguasa gaib di pulau ini oleh
masyarakat setempat disebut Barzanin. Sedangkan perisai pertama
adalah Pulau Lutungan yang terkenal dengan sebutan Tando Kanau.
Sebagai penjaga dan pelindung Kota Tolitoli, Tando Kanau merupakan
ring satu. Penguasa gaib di pulau ini, disebut Kalna Hadin.
Menurut kepercayaan masyarakat asli yang
bermukim di sana, di Tando Kanauterdapat kekuatan supra natural.
Pulau ini diyakini sebagai pusat kekuatan gaib yang bersumber dari Gunung
Tatanggalo dan juga sebagai pusat pertemuan dunia gaib dari ketiga leluhur suku
Tolitoli, yaitu Tamadika Baolan, Tamadika Dei Galang dan Boki Bulan. Selain
itu, Tando Kanau juga merupakan cabang dunia gaib dari pusat
dunia gaib di seluruh dunia yang berpusat di Uwentira di daerah Tanah Kaili,
Palu.
Sedangkan secara geografis, jajaran Pulau
Simatang, Pulau Kabetan dan Pulau Lutungan menjadi pelindung dan perisai Kota
Tolitoli dari ancaman gelombang laut yang besar dan hembusan angin yang
kencang.
Di Pulau Lutungan atau Tando Kanau terdapat
Makam Raja Syaifuddin Bantilan, yang berkuasa dari tahun 1859 hingga 1867.
Syaifuddin Bantilan adalah raja yang sakti. Ia merupakan keturunan dari Raja
Mohammad Yusuf Syaiful Muluk Muidjuddin alias Malatuang yang menurunkan
raja-raja yang memerintah di Kerajaan Tolitoli.
Kesaktian Raja Syaifuddin Bantilan, antara
lain: burung yang sedang terbang jika beliau tunjuk dengan telunjuknya bisa jatuh
ke tanah. Jika beliau ingin buah kelapa dari atas pohonnya dengan sekali tunjuk
dengan telunjuknya, kelapa tersebut akan jatuh ke tanah. Bila beliau perlu air
tawar sedangkan di sekitar kita hanya ada air laut (asin) maka beliau hanya
dengan menggoyangkan kakinya di air laut tadi seketika itu juga air laut
berubah menjadi air tawar yang dapat diminum.
Sebelum Raja
Syaifuddin Bantilan meninggal, beliau sudah berwasiat pada keluarga, kerabat
dan masyarakat kelak jika beliau wafat agar dimakamkan diTando Kanau dengan
maksud untuk menjaga dan menjadi perisai bagi Kota Tolitoli dari semua gangguan
serta ancaman dari luar, baik fisik maupun non fisik (gaib).
Ketika raja wafat pada tahun 1867, dalam
prosesi pemakamannya menggunakan perahu-perahu rakyat yang ditata berurutan (jejer)
dari Kampung Nalu menujuTando Kanau bagaikan sebuah jembatan
penghubung yang akan dilewati jenazah almarhum.
Makam raja ini dikeramatkan oleh masyarakat
setempat, para pengunjung yang berziarah ke makam tersebut bisa menanamkan lidi
dengan niat bermacam-macam. Lidinya dipotong sesuai dengan ukuran jengkalan
tanah. Jika lidi yang ditanamkan di pusara makam tersebut bertambah panjang
maka berarti niatnya akan terkabul. Sebaliknya, bila lidinya berubah menjadi
pendek maka niatnya tidak akan terkabul. Selain itu ada juga keanehan lain pada
makam tersebut seperti bila kita hendak menuju ke makam di puncak Tando Kanau, kita harus
melewati anak tangga yang lumayan banyak, dan semua pengunjung yang melewati
anak tangga tersebut anehnya hitungannya akan berbeda-beda.
Di dekat kuburan raja ini terdapat sebuah
sumur yang jernih airnya, namun hanya orang tertentu saja yang dapat
melihatnya. Jadi tidak semua pengunjung maupun penziarah bisa menyaksikan sumur
tersebut. Selain itu, di sebelah kuburan ini juga terdapat makam yang bisa
berpindah-pindah. Kadang-kadang bisa dilihat dan ditemukan pengunjung, tapi
kadang-kadang menghilang dari pandangan pengunjung. Para pengunjung makan ini
jangan coba-coba membuat kegiatan yang sangat dilarang di area kuburan ini,
karena ada sanksi dan akibat dari alam gaib. Jika ada yang melanggar bisa
terbukti sanksinya saat itu juga seperti langsung sakit atau terputar lehernya
atau kena sanksi nanti saat pulang ke rumah.
Raja Syaifuddin Bantilan adalah keturunan dari Tomanurung (manusia
setengah Dewa) yang merupakan cikal bakal suku Tolitoli.
Pada saat Jepang mau menguasai Kota Tolitoli,
tentara Jepang pada tanggal 30 Mei 1942 merasa kesulitan untuk pertama kali
masuk. Ketika Jepang menyerang melalui serangan udara, mereka tidak dapat
melihat Kota Tolitoli karena terhalang kabut tebal yang menutupi Kota Tolitoli.
Begitu pula, ketika Jepang hendak menyerang melalui serangan laut, tentara
jepang tidak bisa masuk karena mereka begitu mau masuk pelabuhan Tolitoli yang
terlihat hanya sebuah masjid yang berdiri megah menghadang pasukan Jepang
tersebut.